Gara-gara karet penghapus!
Bis sekolah berhenti di depan sebuah rumah. Pintu mobil terbuka dan dengan cemberut Andi bergegas turun. Wajahnya merah berkeringat karena terik matahari yang panas membakar. Tidak biasanya Andi seperti itu. Dia adalah seorang anak yang periang dan murah senyum. Tapi sekarang ini wajah Andi tampak murung seperti langit mendung. Dia membanting pintu pagar dengan keras, …brukkk!
“Mbok, buka pintu donggg… lama betul sih!” serunya sambil menggedor pintu dengan tangan terkepal dan kakinya pun ikut menyepak pintu dengan keras. Waktu pintu terbuka bergegas Andi masuk sehingga si Mbok hampir saja jatuh terdorong.
“Aduh, hati-hati den Andi!” kata si Mbok.
Andi tidak peduli dan segera lari ke kamarnya, melempar tas sekolah, dan tanpa melepas sepatu lagi ia langsung naik ke tempat tidur. Dengan tertelungkup Andi menutup kepalanya dengan bantal. Tangannya terkepal kuat-kuat sambil memukul-mukul kasur.
“Andi, kau sudah pulang, nak?” dengan lembut ibunya menyapa di depan pintu kamar.
Andi diam membisu dan tetap menelungkup.
“Kau tidak mau makan dulu? Makan siang sudah tersedia di meja, ayo kita makan dulu.”
Andi membalikkan tubuh dan menjawab dengan singkat, “Andi tidak lapar, ma.” Lalu kembali Andi menelungkup seperti semula.
Ibu mendekat dan duduk di tempat tidur. Sambil membelai kepala Andi perlahan ia bertanya, “Ada apa, nak?” Apakah kamu sakit?” Belaian lembut itu membuat Andi berbalik dan menatap ibunya.
“Kenapa? Apakah kau dimarahi ibu guru di sekolah, atau nilai ulanganmu jelek? Apakah kamu habis berkelahi?”
“Andi sedang kesal sekali.
“Siapa yang membuatmu kesal?”
“Andi kesal sama Dina, teman sebangku Andi di sekolah.”
Lalu mulailah Andi menceritakan peristiwa yang dialaminya pagi itu. Masalahnya bermula sewaktu Dina meminjam karet penghapus dari Andi. Karena terlalu keras menggosok, karet penghapus itu terbelah menjadi dua.
“Hei, kenapa karet penghapusku terbelah dua?” kata Andi dengan gusar.
“Ah, kamu, soal penghapus saja marah. Karet penghapusmu kan sudah jelek dan dekil. Lihat saja bukuku jadi kumal.” Dina menjawab seenaknya.
“Eeeh… sudah merusak kok tidak mau mengaku, dasar!” Andi bertambah marah.
Tapi rupanya Dina memang keterlaluan. Dengan kasar direbutnya karet penghapus itu dati tangan Andi dan dilemparkannya ke bawah sambil berkata dengan mata melotot, “Kalau tidak mau ya sudah!”
Akhirnya sepanjang pelajaran berlangsung Andi dan Dina tidak mau bicara satu sama lain. Keduanya terus cemberut. Dan yang membuat Andi bertambah jengkel, sepulang sekolah Dina segera mengadu kepada ibunya tentang pertengkaran itu. Ibu Dina menghampiri Andi dengan rupa tidak senang dan mengatakan, “Andi tidak boleh kasar dong. Dina kan anak perempuan!” Hati Andi amat panas mendapat perlakuan yang tidak adil itu.
‘Dina yang bersalah, kok malah saya yang dimarahi’ ucap Andi dalam hati.
Di dalam bis sekolah yang mengantarnya pulang, Gito mengolok Andi, “Wah, Andi payah, sama anak perempuan saja kalah!”
Uh, marah sekali Andi diejek begitu. Dengan keras disepaknya Gito dengan kakinya. Tapi Gito membalas dan memukul matanya hingga biru membengkak. Adduhh! Sakit sekali. Andi membalas dan terjadi baku hantam. Tapi pak sopir mengancam, “Eitt, anak-anak! Awas ya, kalau berkelahi di dalam mobil, nanti bapak turunkan kalian di tengah jalan!”
Mendengar ancaman itu akhirnya mereka berhenti berkelahi. Dalam hati Andi berkata, “Awas, begitu ada kesempatan, akan kuhajar Gito. Dan Dina juga akan kubuat babak belur. Sayang dia anak perempuan.”
Di dalam mobil Gito terus saja mengejek Andi Andi sehingga hatinya serasa mendidih karena marah.
“Oh, begitu rupanya,” kata ibu setelah Andi selesai bercerita. “Sudahlah nak, nanti sore kalau pulang, kita bisa pergi ke toko untuk membeli karet penghapus yang baru. Tapi ada satu hal yang harus diselesaikan: kamu harus berdamai dengan Dina, ya.”
“Andi tidak mau, ma. Enak saja dia. Andi harus membalas perbuatannya!” sahut Andi marah.
“Andi bukankah selama ini kamu dan Dina berteman baik? Bukankah selama ini Dina sering membantumu membuat pekerjaan tangan, sering membuat kue dan coklat dan juga sering meminjamkan buku cerita bagus untukmu?”
Andi diam. Tapi dalam hati dia mengomel. “Enak saja Dina! Dia kan sudah merusak karet penghapusku dan malah melemparkannya ke tanah. Itu ‘kan menghina namanya!’
“Andi, janganlah kamu hanya mengingat kesalahan orang. Ingatlah kebaikannnya. Itu akan membantumu untuk belajar memaafkan. Ayo, sekarang makan dulu.” Dengan lesu Andi makan ditemani ibunya.
Keesokan harinya di muka kelas Andi berpapasan dengan Dina. Rupanya Dina sengaja menunggu di depan pintu. Andi canggung sekali dan tidak tahu mesti berbuat saja. Hampir saja ia menyapa, tapi ingat bahwa mereka ‘kan sedang bermusuhan. Jadi Andi diam saja sambil terus menatap Dina. Dina tampak bimbang. Tangannya menggenggam sebuah karet penghapus baru. Tapi kemudian Dina berkata, “Andi, ini karet penghapus untuk pengganti yang kurusak kemarin. Maafkan aku ya.”
Andi tersentak melihatnya. Dia tidak menyangka kalau Dina mau datang meminta maaf dan mengakui kesalahan. Tidak mudah mengakui kesalahan lho. Andi membayangkan betapa susahnya Dina sepanjang hari kemarin dan pagi ini menunggu Andi untuk meminta maaf.
Akhirnya Andi dan Dina berjabat tangan sambil tersenyum. Anak Tuhan tidak boleh marahan dong.
Teng…teng..tengngng! Lonceng berbunyi. Mereka berdua masuk ke dalam kelas. Berdamai lagi!
Diceritakan oleh : Dr. Robby Moningka